Bolehkah Hadits Dhaif Dijadikan Dasar dan Pedoman ?

Hadits merupakan pedoman tertinggi kedua setelah Al-Qur'an dalam syariat islam, di mana hukum-hukum dalam agama islam digali dari dua sumbernya yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Ini menunjukkan bahwa apa pun yang disandarkan dari Rosulullah SAW merupakan pedoman yang dijadikan dasar hukum.

Kendati pun demikian, hadits sendiri memiliki tingkatan dan level dari segi kuat dan lemahnya, ditolak dan diterimanya. Dalam hal ini, ulama' ahli hadits telah membagi tingkatan hadits menjadi 3 bagian yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dhaif.

Baca lebih detail lagi : Pengertian Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dhaif.

Hadits yang memiliki tingkat paling tinggi adalah hadits shahih, sedangkan tingkatan hadits paling lemah adalah hadits dhaif. Demikian pula, hadits yang paling banyak diterima dan dijadikan dasar juga pedoman adalah hadits shahih dan hadits hasan.


Bolehkah Hadits Dhaif Dijadikan Dasar dan Pedoman ?

Pertanyaan itu merupakan pertanyaan umum dari kebanyakan pemula dalam belajar mengenai ilmu hadits, seperti saya sendiri. Pasalnya, banyak juga ditemui orang yang merasa enggan jika disuguhi hadits dhaif, bahkan jelas menolak menjadikannya sebagai dasar dan pedoman.

Ingatlah, bahwa perumusan konsep hadits berdasarkan tingkat kuat dan lemahnya tidak terjadi di masa Rosulullah SAW dan masa para sahabat. Ilmu hadits sendiri terbagi menjadi 2 macam ilmu, yaitu Ilmu Hadits Dirayah (Ilmu Musthalah Hadits) dan Ilmu Hadits Riwayah, yang mana kedua ilmu itu dirumuskan jauh setelah masa Rosulullah SAW dan masa para sahabat.

Baca lebih lanjut : Pengertian Ilmu Hadits Dirayah (Musthalah Hadits) dan Ilmu Hadits Riwayah.

Nah, terkait dengan jawaban pertanyaan di atas, maka dalam Kitab Minhatul Mughits, karya Hafidz Hasan Al-Mas'udi, yang menjelaskan hal-hal pokok dalam ilmu musthalah hadits, terdapat penjelasan pada Bab Hadits Dhaif, sebagaimana berikut ini :

وَحُكْمُهُ اَنَّهُ يُعْمَلُ بِمَا لْم يَشْتَدَّ ضَعْفُهُ، بِشَرْطِ اَنْ يَنْدَرِجَ تَحْتَ اَصْلٍ مَعْمُوْلٍ بِهِ، وَاَنْ يَعْتَقِدَ عِنْدَ الْعَمَلِ بِهِ الْاِحْتِيَاطِ

"Hukum Hadits Dhaif adalah boleh diamalkan selama kedhaifannya tidak parah, dengan syarat hadits dhaif itu masih di bawah hadits yang diamalkan (hadits shahih dan hasan) dan beri'tikad mengamalkannya dengan hati-hati".

Dari keterangan di atas, maka bisa disimpulkan :

  1. Boleh menjadikan dasar dan pedoman dari hadits dhaif selama kedhaifannya tidak terlalu parah
  2. Jika ada dasar yang lebih kuat di dalam hadits shahih atau hadits hasan, maka jelas saja hadits yang lebih utama dijadikan dasar dan pedoman adalah hadits shahih atau hadits hasan tersebut. Namun, jika dasar suatu hukum hanya ada dalam hadits dhaif, maka masih boleh dijadikan dasar hukum.
  3. Mengamalkan hadits dhaif sebagai dasar dan pedoman harus dengan penuh kehati-hatian.

Sikap para ulama' ahli hadits dalam menanggapi hadits dhaif tersebut juga dijelaskan dalam kitab dan bab yang sama, sebagaimana berikut :

وَلَا يَلْزِمُ مِنْ ضُعْفِ الْحَدِيْثِ عِنْدَ اَهْلِ هٰذَا الْفَنِّ اَنْ لَا يَكُوْنَ صَحِيْحًا اَوْ حَسَنًا فِى الْوَاقِعِ كَمَا اَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنْ صِحَّتِهِ اَوْ حَسَنِهِ عِنْدَهُمْ اَنْ يَكُوْنَ فِى الْوَاقِعِ كَذٰلِكَ لِجَوَازِ الْخَطَإِ وَالنِّسْيَانِ عَلَى الْعَدْلِ وَالصِّدْقِ عَلَى غَيْرِهِ

"Kedhaifan hadits menurut para pakar hadits tidaklah tetap (tidak tentu) bahwa hadits dhaif itu bukan hadits shahih atau hadits hasan dalam realitanya, sebagaimana pula tidaklah tetap (tidak tentu) keshahihan dan kehasanan hadits menurut mereka seperti itu dalam realitanya, karena mungkin ada kesalahan dan kelupaan dari orang yang adil dan ada kebenaran dari orang yang tidak adil".

Dalam salah satu maqolah, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :

ضَعِيْفُ الْحَدِيْثِ اَحَبُّ اِلَيَّ مِنَ الرَّأْىِ

"Hadits dhaif (lemah) lebih aku sukai daripada pemikiran orang"

Dari keterangan sikap para ulama' hadits menanggapi hadits dhaif di atas, maka kita pun bisa menyimpulkan bahwa :

  1. Kedhaifan hadits itu bersifat tidak pasti bahwa ia adalah hadits dhaif dan bukan termasuk hadits shahih atau hadits hasan. Bisa jadi, sebuah hadits yang dinilai dhaif, justru hakekatnya adalah hadits hasan atau bahkan hadits shahih. Dalam suatu hadits tertentu, terkadang beberapa ulama' ahli hadits sendiri berbeda pendapat mengenai masalah kedhaifan hadits, ada yang mengatakan hadits tersebut dhaif, ada yang mengatakan hadits tersebut hasan, dan sebagainya.
  2. Demikian pula, keshahihan dan kehasanan hadits juga bersifat tidak pasti. Bisa jadi, sebuah hadits yang dinilai shahih atau hasan, justru hakekatnya adalah hadits dhaif.
  3. Ketidakpastiaan kebenaran sebuah hadits terjadi karena perumusan konsep itu tidak langsung dikonsep oleh Allah SWT dan Rosulullah SAW. Hal ini mengingat bahwa manusia tak luput dari salah dan lupa. Hanya Allah SWT yang mengetahui hakekat benar daripada kedudukan sebuah hadits.
  4. Sikap yang tepat adalah tetap mengikuti konsep yang dirumuskan para ulama' ahli hadits mengenai konsep tingkatan hadits untuk dijadikan sebagai dasar dan pedoman. Namun, kita tidak boleh serta merta menolak hadits yang kedudukannya adalah dhaif karena terlalu bersikap fanatik, bahkan menyalahkan hukumnya. Jika sebuah hukum yang terdapat dalam hadits dhaif tersebut menyimpan banyak kebaikan dan kemaslahatan, maka tidak ada salahnya mengambilnya sebagai dasar dan pedoman.
  5. Sikap selanjutnya jika menggunakan dasar dengan hadits dhaif adalah menjelaskan bahwa hadits tersebut dhaif, kecuali memang belum mengetahui kedhaifannya. Itu akan lebih baik agar berfungsi sebagai penjelasan kepada orang lain. 


Contoh Hadits Dhaif Yang Dijadikan Sebagai Dasar dan Pedoman

Nah, untuk menjelaskan ulasan di atas, maka ada beberapa contoh hadits dhaif yang dijadikan dasar dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana 2 hadits berikut ini

1. Hadits Tentang Tayammum

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ اَنْ لَا يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ اِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ الْاُخْرٰى - رواه الدراقطني

"Dari Sahabat Ibnu Abbas ra berkata, "Termasuk sunnah jika seseorang tidak melakukan tayammun kecuali untuk sholat (fardlu) sekali, kemudian dia bertayammum lagi untuk sholat (fardlu) lainnya" (HR. Daraquthni)".

Hadits tersebut saya ambil dari Kitab Bulughul Maram karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani pada Bab Tayammum yang sudah dijelaskan kedhaifannya. Selanjutnya, Madzhab Syafi'iyyah juga menjelaskan bahwa tayammum bukan berfungsi untuk menghilangkan hadats tetapi untuk sebagai pengganti wudlu dan mandi besar. Tayammum akan secara otomatis terbatalkan jika sudah menemukan air untuk berwudlu dan mandi besar.

Selain itu, penggunaan tayammum hanya untuk sekali sholat fardlu dan harus melakukan tayammum baru untuk sholat fardlu yang lain. Namun, seusai melakukan sholat fardlu boleh melakukan sholat sunnah, sholat jenazah, dan membaca Al-Qur'an berkali-kali tanpa harus memperbarui tayammum.

2. Hadits Tentang Talqin Mayit Sesudah Dikubur

Salah satu budaya masyarakat Indonesia setelah mengubur mayit adalah melakukan talqin. Ternyata budaya ini diajarkan oleh para kyai, para ulama', dan para wali terdahulu, yang diambil dasarnya dari sebuah hadits yang dinilai dhaif dari Sahabat Abu Umamah Al-Bahili.

Namun, karena haditsnya panjang, maka contoh haditsnya bisa dilihat pada posting khusus mengenai talqin mayit sesudah dikubur : Dasar Mengenai Kesunnahan Talqin Mayit Sesudah Dipendam.